Opini : Benny Hakim Benardie
“Senang Melihat Orang Susah, Pertanda Negeri Itu Tidak Makmur”.
Setiam momen HUT kemerdekaan RI, aksi panjat pinang acap kali digelar hampir diseluruh negeri nusantara ini. Comangcomeng sekujur tubuh akibat minyak gemuk atau oli peserta. Perih, sakit dan memar tubuh konsekuensi yang harus di terima.
Di Provinsi Bengkulu, ulah seperti ini bukan hal baru. Sejak Belanda menguasai negeri ini pada abad ke-18, panjat batang pinang kerap dilakukan oleh anak negeri. Untuk pertama kalinya di daerah yang kini Kabupaten Lebong. Para pejabat Belanda menyiapkan hadiah dan girang tertawa melihat anak bangsa bersusah payah meraih hadiah. Makin susah, makin asyik dipertontonkan.
Belanda memperkenalkan aksi Panjat Pinang sebagai bagian acara hiburan disaat acara pernikahan, hari libur nasional atau hari ulang tahun. Pribumi yang kala itu banyak susah akibat kemiskinan, mau saja melakukan, tanpa sadar dipertontonkan dengan ketawa terbahak-bahak, melihat pribumi susah memanjat tinggi karena batang licin.
Ironisnya, aksi panjat batang pinang tinggi licin ini, harus dilakukan anak negeri beramai-ramai, untuk mendapatkan keju, gula, tepung, dan pakaian di ujung batang. Bedanya untuk zaman kini hadiahya lebih menarik lagi, tapi tertawa terbahak-bahak melihat pemanjat masih sama.
Falsafah apa yang dapat diambil oleh aksi panjat pinang itu? Beragam fiikran menanggapi hal ini. Mulai dari kekompakan dalam mengapai tujuan hingga cerminan perjuangan dalam berkelompok.
Di pihak lain harus mengatakan, falsafah apapun dari aksi panjat pinang dapat kita urai. Yang jelas, pihak Belanda kalau itu itu butuh hiburan dan tontonan, dan anak negeri menjadi obyek kesenangan mereka. Sekarang tinggal kita saja yang berfikir, diatas keasyikan dan tertawa kita melihat itu semua.
- Pemerhati sejarah dan budaya tinggal Bengkulu